PERUNDANG
- UNDANGAN
PROSES
UNTUK MENDAPATKAN
PERSETUJUAN
UNDANG - UNDANG
NON
REGULER / B
KEMENTRIAN
KESEHATAN RI
POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENKES SURABAYA
JURUSAN KESEHATAN
LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI
DIII KAMPUS SURABAYA
Tahun 2013
Nama Kelompok :
1. Prasetyo
2. Hadyan Rashidi
3. Suci Rahajeng Wijaya
4. Ayu Pertiwi
5. Dwi Okta Vania Sari
6. Desi Wulansari Isnaeni
7. Anggita Nafisah Anodya
8. Yunita Tri Suryani
9. Selga Ainun Mufidah
10.
Nisa Olivia Fricabella
11.
Indah Wintari
12.
Ayomi Karina
13.
Nur Fajarwati
14.
Hayu Anita
15.
Isnia Fitri Abdillah
16.
Pramita Ismaniar
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT
karena berkat rahmat dan ridho-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah untuk
mata kuliah PerUndang - Undangan ini tepat pada waktunya.
Ucapan terima kasih kami haturkan kepada
pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tak langsung.
Kami menyadari masih terdapat banyak
kekurangan dari makalah yang berjudul “Proses Untuk Mendapatkan Persetujuan
Undang - Undang” ini. Atas dasar itu, dengan tangan terbuka kami menerima
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Surabaya, 13 Mei 2013
Penyusun Undang-Undang/Perundang-undangan (atau
disingkat UU) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.
Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk
konsolidasi posisi politik dan hukum,
untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara.
Undang-undang dapat pula dikatakan sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang
mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
Sejarah
Undang-undang (bahasa Inggris: Legislation -
dari bahasa Latin lex, legis yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang
dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti
prosedur tertulis.
Konsep hukum yang didefinisikan oleh sebuah laporan dari
kontrak dan Perjanjian (yang hasil dari negosiasi antara sama (dalam hal
hukum)), kedua dalam hubungan dengan sumber-sumber hukum lainnya: tradisi (dan
kebiasaan), kasus hukum, undang-undang dasar (Konstitusi, "Piagam
Besar", dsb.), dan peraturan-peraturan dan tindakan tertulis lainnya dari
eksekutif, sementara undang-undang adalah karya legislatif, sering diwujudkan
dalam parlemen yang mewakili rakyat.
Kekuasaan legislatif biasanya dilaksanakan:
- dengan Kepala Negara hanya
dalam rezim otoriter tertentu, kediktatoran atau kekuasaan mutlak;
- oleh Parlemen;
- dengan rakyat sendiri melalui
referendum.
Pandangan umum
Hukum termasuk dalam serangkaian
peraturan dan standar dalam suatu masyarakat tertentu. Hukum sering istilah
generik untuk semua kegiatan, di mana pun mereka berada dalam hirarki standar
(konstitusi, hukum atau pengertian formal peraturan ketat ...)
Dari segi bentuknya, hukum adalah
perbuatan hukum oleh otoritas tertentu, biasanya DPR, yang sah dan memiliki
kapasitas untuk memimpin. Di negara-negara yang mengenal suatu bentuk pemisahan
kekuasaan, hukum adalah sebuah standar hukum yang diadopsi oleh badan
legislatif dalam bentuk dan prosedur yang ditentukan oleh hukum konstitusional
setempat. Penerapannya kemudian dapat ditentukan oleh teks yang dikeluarkan
oleh eksekutif, sebagai pelaksanaan Keputusan, dan juga akan dijelaskan lebih
lanjut oleh penafsiran di pengadilan.
Aturan hukum adalah alat yang
tersedia bagi para pengacara yang memungkinkan untuk bekerja sesuai dengan
cita-cita keadilan. Setiap kebebasan atau hak pasti menyatakan, harus
dilaksanakan sepenuhnya, kewajiban toleransi dan hormat, atau tanggung jawab.
Materi undang-undang
·
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga
negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta
keuangan negara.
·
Diperintahkan oleh suatu
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
A. Kewenangan DPR-RI Membentuk Undang-Undang
Membentuk Undang-Undang merupakan kekuasaan
yang melekat pada DPR, selain kekuasaan pengawasan dan anggaran. Wewenang
pembentukan Undang-Undang ini diwujudkan ke dalam fungsi legislasi DPR yang
bersumber kepada UUD 1945. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menggariskan:
1. DPR memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang.
2. Setiap RUU dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
3. Jika RUU itu tidak mendapat
persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
masa itu
4. Presiden mengesahkan RUU
yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undangundang.
5. Dalam hal RUU yang telah
disetujui tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi Undang-undang dan
wajib diundangkan.
Pada prinsipnya ditetapkannya kekuasaan
membentuk Undang-Undang dari DPR merupakan wewenang atribusi yang diberikan
oleh UUD 1945 dan Undang-Undang, yang sebelumnya dipegang oleh Presiden (vide
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama). Akibatnya beban untuk membentuk Undang-Undang
yang diwujudkan dalam fungsi legislasi DPR menjadi tanggung jawab sepenuhnya
DPR. Dengan kata lain Perubahan UUD 1945 telah mendudukkan posisi DPR sebagai
lembaga utama pembentuk Undang-Undang, sedangkan Presiden tetap memiliki
kekuasaan membentuk Undang-Undang dalam bentuk "hak" mengajukan RUU
kepada DPR, sekaligus tugas untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama
untuk menjadi Undang-Undang.
B. Proses Pembentukan
Undang-Undang
a. Tahapan Pembentukan
Undang-Undang
Pengaturan proses pembentukan Undang-Undang
dapat dilihat dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang membagi pembentukan Undang-Undang menjadi
beberapa tahapan, yaitu: perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
Beberapa tahapan pembentukan Undang-Undang
menurut UU No. 10 Tahun 2004 tersebut secara teoritis dimulai dari: (1) tata
cara mempersiapkan RUU, (2) pembahasan RUU di DPR, dan (3) tahapan persetujuan
dan pengundangan. Dengan kata lain, proses pembentukan Undang-Undang merupakan
suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, yang diawali
dari terbentuknya suatu ide atau gagasan tentang perlunya pengaturan terhadap
suatu permasalahan.
b. Asal Usul RUU
Usulan pembentukan UU berawal baik dari RUU
yang diajukan DPR, RUU dari Pemerintah maupun RUU yang diajukan oleh DPD.
Selanjutnya dilakukan kegiatan mempersiapkan suatu RUU baik oleh DPR, DPD
maupun oleh Pemerintah. Kemudian dilakukan pembahasan RUU di DPR untuk
mendapatkan persetujuan bersama, dilanjutkan dengan persetujuan pengesahan dan
diakhiri dengan pengundangan. Dalam kaitan dengan peranan DPR, paling tidak ada
empat peranan yang diemban, yaitu: (a) mengajukan RUU inisiatif, (b) membahas
RUU dari pemerintah, (c) melaksanakan evaluasi terhadap UU yang ada, dan (d)
melakukan penilaian terhadap kebijakan pemerintah. DPR dapat meningkatkan
kualitas UU yang dihasilkan dengan menerapkan proses yang kebih baik dalam
menjalankan keempat peranan ini.
C.
Proses dan Tahapan Persiapan RUU
1. RUU yang Berasal dari DPR
Proses penyiapan RUU yang berasal dari DPR
dilaksanakan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 dan Peraturan Tata Tertib DPR.
· Badan Pembantuan Penyiapan
Usul Inisiatif DPR
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada
beberapa badan yang membantu penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi
Anti Korupsi disiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disiapkan oleh Tim Asistensi Badan
Legislasi (Baleg). Selain itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional
memiliki kewenangan untuk menyiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul
inisiatif DPR. Badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi
(PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan Tim Perancang
Sekretariat Jenderal DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi
sebuah RUU.
· Usul Inisiatif DPR
Tahapan Pertama
Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu berdasarkan Prolegnas dan kedua inisiatif dari Anggota, Komisi,
Gabungan Komisi atau Baleg. Penyusunan Prolegnas oleh DPR dikoordinasikan oleh
DPR melalui Baleg. Dalam Prolegnas ditetapkan skala prioritas sesuai
perkembangan kebutuhan masyarakat. Tahapan awal untuk mengajukan RUU usul
inisiatif dapat diajukan oleh Anggota, Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan
Legislasi. Usul inisiatif RUU tersebut beserta penjelasan keterangan dan/atau
naskah akademis yang disampaikan secara tertulis oleh Anggota atau Pimpinan
Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, atau Pimpinan Badan Legislatif kepada
Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya
setelah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.
Tahapan Kedua.
Tahapan berikutnya, dalam Rapat Paripurna
setelah Usul Inisiatif RUU tersebut diterima oleh Pimpinan DPR, Pimpinan DPR
memberitahukan kepada Aggota tentang masuknya usul inisiatif RUU tersebut,
kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. Rapat Paripurna untuk memutuskan
apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul dari
DPR atau tidak, setelah diberikan kesempatan kepada Fraksi untuk memberikan
pendapatnya. Keputusan dalam Rapat Paripurna dapat berupa:
(1) Persetujuan;
(2) Persetujuan dengan perubahan; atau
(3) Penolakan.
Dalam hal persetujuan, DPR menugaskan kepada
Komisi, Baleg, atau Panitia Khusus untuk menyempurnakan RUU tersebut. Dalam hal
RUU yang telah disetujui tanpa perubahan atau yang telah disempurnakan,
disampaikan kepada Presiden oleh Pimpinan DPR dengan permintaan agar Presiden
menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU
tersebut bersama-sama dengan DPR, dan kepada Pimpinan DPD jika RUU yang
diajukan mengenai hal-hal tertentu.
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak
diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri
yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Terhadap RUU
yang berasal dari DPR terdapat beberapa pengaturan yang harus diperhatikan
sebagai syarat keabsahan, yaitu:
a. Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU
belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu
pembicaraan dalam Rapat Paripurna usul RUU tersebut.
b. Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama usul
RUU tersebut belum diputuskan menjadi RUU oleh Rapat Paripurna.
c. Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali
usul, harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis
kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.
Perhatikan bagan proses alur penyusunan RUU Usul
Inisiatif DPR berikut ini.
RUU yang berasal dari DPR
2. RUU yang Berasal dari Presiden
Berdasarkan Perubahan Pertama UUD 1945
Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Ketentuan ini menempatkan hubungan
yang dinamis antar kedua lembaga negara dalam pembentukan Undang-Undang. Kata
berhak di dalam norma Pasal 5 ayat (1) tersebut secara tegas memberikan suatu
peranan yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan oleh Presiden. Dan dalam
praktik ketatanegaraan, Presiden berperan aktif dalam pembentukan
Undang-Undang, baik pada proses dan tahapan persiapan RUU, pembahasan RUU
maupun pada tahapan pengundangan suatu Undang-Undang.
Bagaimana tata cara mempersiapkan RUU yang
dilakukan oleh Presiden? Di samping UU Nomor 10 Tahun 2004, pengaturannya
ditemukan dalam Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU,
Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, yang ditetapkan pada tanggal 14
November 2005. Tata cara mempersiapkan RUU yang berasal dari Pemerintah dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut:
1) Penyusunan RUU
Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua
cara. Pertama dilakukan prakarsa berdasarkan Prolegnas. Penyusunan RUU yang
didasarkan Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden.
Dan kedua dalam keadaan tertentu, prakarsa dalam menyusun RUU di luar Prolegnas
dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa
kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU
yang akan diajukan. Penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU tersebut
meliputi:
a. Urgensi dan
tujuan pengaturan;
b. Sasaran yang
ingin diwujudkan;
c. Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur;
d. Jangkauan serta
arah pengaturan.
2) Penyampaian RUU kepada DPR
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Peraturan Presiden No. 68
Tahun 2005 terhadap suatu RUU yang telah disetujui oleh Presiden, akan
disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Selanjutnya Menteri
Sekretaris Negara akan menyiapkan Surat Presiden kepada Pimpinan DPR untuk
menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan Pemerintah mengenai RUU tersebut.
Keterangan Pemerintah tersebut disiapkan oleh Prakarsa,
yang antara lain memuat:
a). Urgensi dan tujuan penyampaian;
b). Sasaran yang ingin
diwujudkan;
c). Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur;
dan
d). Jangkauan serta arah pengaturan; yang menggambarkan
keseluruhan substansi RUU.
Surat Presiden tersebut ditembuskan kepada Wakil
Presiden, pada menteri koordinator, menteri yang ditugasi untuk mewakili
Presiden/Prakarsa, dan Menteri. Pendapat akhir Pemerintah dalam pembahasan RUU
di DPR disampaikan oleh Menhukham yang ditugasi mewakili Presiden, setelah
terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden.
3. RUU yang Berasal dari DPD
Dengan disahkannya UU No. 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tata cara pengajuan dan pembahasan RUU yang
berasal dari DPD juga mengalami beberapa perubahan. Tata cara mempersiapkan
(proses penyusunan) dan pembahasan RUU yang berasal dari Dewan Perwakilan
Daerah di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah selanjutnya akan diatur oleh
Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah yang mengacu pada perubahan UU
terbaru.
RUU yang berasal dari DPD diajukan oleh DPD
kepada DPR adalah RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Setelah melalui proses penyusuna
legislasi di DPD, prinsipnya pada sidang Paripurna DPD akan memutuskan, apakah
Usul RUU tersebut dapat diterima menjadi RUU
Usul DPD atau tidak. Keputusan Sidang Paripurna dapat terdiri atas tiga macam,
yaitu:
a) Diterima;
b) Diterima dengan perubahan; atau
c) Ditolak.
Keputusan tersebut diambil setelah Panitia
Perancang Undang-Undang menyampaikan penjelasan dan prakarsa diberi kesempatan
untuk memberikan pendapatnya. Dalam hal Usul RUU diterima dengan perubahan, DPD
menugasi Panitia Perancang Undang-Undang untuk membahas dan menyempurnakan usul
RUU tersebut. Usul RUU yang telah diterima tanpa perubahan, atau RUU yang telah
disempurnakan tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada DPR dan Presiden
disertai Surat Pengantar Pimpinan DPD.
D.
Proses Pembahasan RUU di DPR
Pembahasan RUU secara resmi sepenuhnya
dilakukan dalam forum persidangan DPR. Pemerintah dan DPD dapat ikut serta
dalam pembahasan tetapi yang mengambil keputusan hanya DPR. Hanya saja, DPR
tidak dapat memutus tanpa persetujuan Pemerintah. Pembahasan setiap RUU, baik
yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun Dewan Perwakilan Daerah dibahas di
DPR dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
1. Pembicaraan Tingkat I, yang dilakukan dalam Rapat
Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran,
atau Rapat Panitia Khusus.
2. Pembicaraan Tingkat II, yang dilakukan dalam Rapat
Paripurna.
E. Pengesahan RUU dan Pengundangan
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 pada Pasal
37, RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tersebut dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama.
Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tersebut,
Sekretariat Negara akan menuangkannya dalam kertas kepresidenan dan akhirnya
dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah
disetujui bersama tersebut dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui
oleh DPR dan Presiden.
Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah
disetujui bersama dengan DPR tersebut, maka Undang-Undang itu kemudian
diundangkan oleh Menteri (yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan), agar Undang-Undang itu dapat berlaku dan mempunyai
kekuatan hokum mengikat umum.
Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani
oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut
disetujui bersama DPR dan Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi
Undang-Undang, dan wajib diundangkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2)
Undang-Undang No. 10 Th. 2004, dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan.
Setelah Undang-Undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang yang telah
diundangkan tersebut.
Keterangan
1)
RUU yang telah disetujui disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden paling
lambat 7 hari kerja untuk disahkan;
2)
Apabila dalam 15 hari kerja RUU tersebut belum disahkan menjadi UU, Pimpinan
DPR mengirim surat kepada Presiden untuk minta penjelasan
3) Dalam hal RUU tersebut
tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui, RUU
tersebut sah menjadi UU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar